Banjir yang terjadi hampir merata di seluruh Pulau Jawa pada akhir tahun 2007 dan awal tahun ini sungguh
tidak bisa dianggap ringan. Puluhan jiwa melayang, ribuan penduduk menjadi sengsara, dan infrastruktur
yang telah dibangun dengan biaya miliaran bahkan mungkin triliunan rupiah harus luluh lantak.
Banjir sempat surut. Bahkan, bumi Indonesia sempat kering akibat hujan yang tidak turun dalam dua minggu. Periode kering ini secara regional wilayah Indonesia hanya bertahan hingga sekitar tanggal 20 Januari 2008.
Kini curah hujan terus mengguyur sebagian wilayah Indonesia hingga puncak musim hujan untuk wilayah
Indonesia pada minggu terakhir bulan Januari hingga Februari 2008. Prakiraan ini didasarkan pada perilaku
gelombang atmosfer yang dominan memengaruhi cuaca saat ini, yaitu gelombang intramusim yang dikenal dengan Madden Julian Oscillation (MJO).
Berdasarkan pemantauan gelombang MJO kemudian sudah meninggalkan wilayah Indonesia dan berada di sebelah timur wilayah Indonesia. Dalam waktu beberapa hari ini, gugus awan ini kembali berada di sebelah barat wilayah Indonesia (Samudra Indonesia). Di Indonesia bagian barat, seperti Jakarta dan Sumatera, tumbuh awan-awan konvektif yang biasanya turun menjadi hujan pada siang hingga sore hari. Ketika gugus awan sudah berada di wilayah Indonesia, hujan akan turun sepanjang hari dan malam, seperti terjadi akhir-akhir ini. Pada saat inilah peluang terjadinya banjir di wilayah Indonesia sangat besar.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi terjadinya banjir ini? Tanpa mengecilkan arti dari
berbagai upaya yang telah dilakukan berbagai pihak, sebenarnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mempunyai kemampuan antisipasi banjir dengan sebuah teknologi untuk memodifikasi cuaca.
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) selama ini banyak berfungsi untuk menambah curah hujan. Dalam fungsinya menambah curah hujan, teknologi ini dilaksanakan dengan memasukkan bahan semai yang bersifat higroskopis dengan ukuran 1-100 mikron (µ).
Bahan semai yang berukuran kurang dari 10 µ ini berfungsi untuk meningkatkan energi awan sehingga
menambah suplai uap air yang masuk ke dalam sistem awan.
Sedangkan bahan semai yang berukuran lebih dari 10 µ berfungsi mempercepat proses-proses di dalam awan sehingga cepat turun menjadi hujan.
Dalam usaha menambah curah hujan, awan yang disemai adalah awan yang diperkirakan akan turun menjadi hujan di daerah yang memerlukan tambahan hujan.
Modifikasi teknologi TMC
Kemudian bagaimana TMC bisa mengantisipasi banjir? Dengan mempertimbangkan konsep TMC untuk menambah curah hujan, dengan sedikit saja modifikasi, teknologi ini juga bisa digunakan untuk mengantisipasi (atau bisa diartikan mencegah) terjadinya banjir (akibat curah hujan tinggi).
Modifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
organisasinya, yaitu Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan) sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun dan sekarang sudah memiliki alat-alat canggih untuk melakukan tugas-tugas seperti yang penulis sebutkan di atas.
Akan tetapi, bagaimanapun, teknologi ini tidak bisa menjamin untuk tidak akan terjadinya banjir di wilayah
Indonesia. Meski demikian, teknologi ini akan cukup signifikan dalam mengurangi curah hujan yang jatuh di wilayah daratan Indonesia, yang pada akhirnya bisa mengurangi peluang terjadinya banjir.
Hanya masalahnya, cukupkah keberanian kita untuk mengantisipasi/mencegah sesuatu (bencana sekalipun) yang belum terjadi (meskipun secara saintifik berpeluang besar untuk terjadi)?
TRI HANDOKO SETO Peneliti dan Praktisi TMC di BPPT
Sumber: http://www.opensubscriber.com/message/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/8642960.html; Rabu, 20 Februari 2008 | 01:58 WIB
Mengenal Teknologi Modifikasi Cuaca (Hujan Buatan)
Pernah mendengar istilah hujan buatan? Kebanyakan orang mengartikan istilah hujan buatan adalah hujan yang sengaja dibuat oleh manusia. Sebenarnya istilah hujan buatan tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai pekerjaan membuat atau menciptakan hujan, karena teknologi ini hanya berupaya untuk meningkatkan dan mempercepat jatuhnya hujan, yakni dengan cara melakukan penyemaian awan (cloud seeding) menggunakan bahan-bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air) sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan.
Istilah yang lebih tepat untuk mendefinisikan aktivitas hujan buatan adalah Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), karena pada dasarnya hujan buatan merupakan aplikasi dari suatu teknologi. TMC merupakan usaha manusia untuk meningkatkan curah hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di dalam awan. Proses fisika yang diubah (diberi perlakuan) di dalam awan dapat berupa proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) atau proses pembentukan es (ice nucleation). Saat ini TMC menjadi salah satu solusi teknis yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi bencana yang ditimbulkan oleh karena adanya penyimpangan iklim/cuaca. TMC bukanlah hal baru di dunia, karena teknologi ini sudah dipakai oleh lebih dari 60 negara untuk berbagai kepentingan.
Sejarah Modifikasi Cuaca di Dunia
Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946 ketika Vincent Schaefer dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya kristal es dalam lemari pendingin, saat schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka lemari es. Kemudian pada tahun 1947, Bernard Vonnegut mendapatkan terjadinya deposit es pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak sebagai inti es. Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara ketika sebuah pesawat tebang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu. Kedua penemuan penting ini adalah merupakan tonggak dimulainya perkembangan modifikasi cuaca di dunia untuk selanjutnya.
Sejarah Modifikasi Cuaca di Indonesia
Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah hujan buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun 1977 atas gagasan Presiden Soeharto (Presiden RI saat itu) yang difasilitasi oleh Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui Advance Teknologi sebagai embrio Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dibawah asistensi Prof. Devakul dari Royal Rainmaking Thailand.
Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPt yang bernama Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi / Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No: SK/342/KA/BPPT/XII/1985 fungsinya adalah memberikan pelayanan dalam hal meningkatkan intensitas (menambah) curah hujan sebagai upaya Pemerintah dalam menjaga ketersediaan air pada waduk yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi dan PLTA.
Proses Pembentukan Awan
Udara di sekeliling kita banyak mengandung uap air. Tidak terhitung banyaknya gelembung udara yang terbentuk oleh busa laut secara terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air terangkat ke langit. Partikel-partikel yang disebut dengan aerosol inilah yang berfungsi sebagai perangkap air dan selanjutnya akan membentuk titik-titik air. Selanjutnya aerosol ini naik ke atmosfer, dan bila sejumlah besar udara terangkat ke lapisan yang lebih tinggi, maka ia akan mengalami pendinginan dan selanjutnya mengembun. Kumpulan titik-titik air hasil dari uap air dalam udara yang mengembun inilah yang terlihat sebagai awan. Makin banyak udara yang mengembun, makin besar awan yang terbentuk.
Jenis-jenis awan berdasarkan ketinggiannya dapat dlihat pada gambar berikut.
Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan Cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dangan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan Cumulus terjadi karena proses konveksi. Secara lebih rinci awan Cumulus terbagi dalam 3 jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus yang barau tumbuh ; Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang sangat besar dan mungkin terdiri beberapa awan Cumulus yang bergabung menjadi satu.
Awan Dingin dan Awan Hangat
Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan tersebut berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat (warm cloud). Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua bagiannya berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku (< 00C), sedangkan awan hangat adalah awan yang semua bagiannya berada diatas titik beku ( > 00C).
Awan dingin kebanyakan adalah awan yang berada pada daerah lintang menengah dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa mencapai nilai <00C. Di daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu udara dekat permukaan tanah sekitar 20-300C, dasar awan mempunyai suhu sekitar 180C. Namun demikian puncak awan dapat menembus jauh ke atas melampaui titik beku, sehingga sebagian awan merupakan awan hangat, sebagian lagi diatasnya merupakan awan dingin. Awan semacam ini disebut awan campuran (mixed cloud).
Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Dingin
Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es. yang berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin (supercooled water) langsung pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan pada awan dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga disebut proses kristal es.
Hujan, salju dan hujan batu es terutama disebabkan oleh air yang menjadi dingin. Salju terbentuk dalam atmosfer atas yang suhunya dibawah titik beku. Waktu jatuh lewat atmosfer salju mencair dan menjadi hujan. Pada musim dingin, salju jatuh tanpa menjadi cair dan masih berbentuk salju. Butiran salju terdiri dari kristal es kecil-kecil.
Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air, dan terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang sumbunya berada di bawah titik beku, awan itu membeku menjadi kristal es kecil-kecil. Udara sekelilingnya yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. Dengan demikian kristal bertambah besar dan menjadi butir-butir salju. Bila menjadi terlalu berat, salju itu turun. Bila melalui udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada musim dingin salju jatuh tanpa mencair.
Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Hangat
Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh aktivitas konveksi ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 – 0,1 mikron) yang banyak beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus) yang menyebabkan uap air tersebut mengalami pengembunan.Sumber utama inti kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut. Karena bersifat higroskofik maka sejak berlangsungnya kondensasi, partikel berubah menjadi tetes cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk awan. Partikel air yang mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal, sehingga titik-titik tersebut menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan sebagai hujan.
Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 – 5 mikron) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30 mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 – 50 mikron. Dalam gerak turun ia akan lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan). Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi berangkai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut, secara fisik terlihat dasar awan menjadi lebih gelap. Hujan turun dari awan bila melalui proses tumbukan dan penggabungan, droplets dapat berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 mikron atau lebih besar. Pada keadaan tertentu partikel-partikel dengan spektrum GN tidak tersedia, sehingga proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan penggabungan tidak terjadi.
Bagaimana TMC Dapat Menambah Curah Hujan ?
Prinsip dasar penerapan TMC untuk menambah curah hujan adalah mengupayakan agar proses terjadinya hujan menjadi lebih efektif. Upaya dilakukan dengan cara mempengaruhi proses fisika yang terjadi di dalam awan, yang dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana lingkungan awan tersebut berada. Untuk bagian awan dingin, curah hujan akan bertambah jika proses pembentukan es di dalam awan juga semakin efektif. Proses pembentukan es dalam awan akan semakin efektif jika awan disemai dengan menggunakan bahan semai berupa perak iodida (Agl).
Untuk bagian awan hangat, upaya dilakukan dengan menambahkan partikel higroskopik dalam spektrum Ultra Giant Nuclei (UGN : berukuran lebih dari 5 mikron ) ke dalam awan yang sedang dalam masa berkembang atau matang sehingga proses hujan dapat segera dimulai serta berkembang ke seluruh awan. Penambahan partikel dengan spektrum CCN (Cloud Condencation Nucleus: Inti Kondensasi Awan) tidak perlu dilakukan, karena partikel dengan spektrum ini sudah disediakan sendiri oleh alam. Dengan demikian awan tidak perlu dibuat, karena dengan tersedianya CCN awan dapat terbentuk dengan sendirinya bila kelembaban udara cukup. Pada kondisi tertentu, dengan masuknya partikel higroskopik berukuran UGN kedalam awan, maka proses hujan (tumbukan dan penggabungan) dapat dimulai lebih awal, durasi hujan lebih lama, dan daerah hujan pada awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi. Dari sinilah didapatkan tambahan curah hujan. Injeksi partikel berukuran UGN ke dalam awan memberikan dua manfaat sekaligus, yang pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan penggabungan sehingga menginisiasi (mempercepat) terjadinya proses hujan, dan yang kedua adalah mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam awan. Bahan semai yang digunakan adalah bahan yang memiliki sifat higroskopik dalam bentuk super fine powder (berbentuk serbuk yang berukuran sangat halus), paling sering digunakan adalah NaCl, atau bisa juga berupa CaCl2 atau Urea.
Berikut adalah animasi yang menggambarkan perbedaan antara sekuens pertumbuhan awan yang tidak disemai dengan awan yang disemai :
Sekuens awan tidak disemai
5 menit :
Kumulus mulai tumbuh.
10 menit :
Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar
15 Menit :
Tetes besar semakin banyak dan mulai terjadi kristal es. Awan mencapai tinggi maksimum
20 menit :
Kristal-kristal semakin besar, tetes air di dalam awan berkurang. Kristal es jatuh dan mencair menjadi tetes air hujan.
30 menit :
Hujan ringan berlangsung dan awan membuyar.
Sekuens awan yang disemai
5 menit :
Kumulus mulai tumbuh.
10 menit :
Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar
15 menit :
Sejumlah bahan semai yang terkonsentrasi dimasukan ke dalam awan dari dasar awan maupun dari puncak awan.
20 menit :
Terjadi pelepasan panas laten ketika air supercooled membeku menjadi es dan awan tumbuh menjadi sangat besar.
30 menit :
Jumlah air yang terlibat di dalam awan semakin besar sehingga curah hujan meningkat.
METODA PENYEMAIAN AWAN
Dalam penerapan TMC, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Yang paling sering dan biasa dilakukan adalah menggunakan wahana pesawat terbang. Selain menggunakan pesawat terbang, modifikasi pesawat terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan sistem statis melalui wahana Ground Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan untuk memodifikasi awan-awan orografik dan juga menggunakan wahana roket yang diluncurkan ke dalam awan.
Gambar 10. Macam-macam metoda penyampaian bahan semai ke dalam awan
Di Indonesia untuk saat ini yang sudah operasional dan dikuasai teknologinya berubah TMC dengan menggunakan wahana pesawat terbang TMC sistem GBG saat ini masih dalam tarap ujicoba dan telah terpasang sejumlah menara di daerah Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede – Pangrango), sedangkan untuk wahana roket baru sebatas kajian dan dalam wacana akan mulai dicoba di Indonesia.
Wahana Pesawat Terbang
Berikut adalah beberapa contoh gambar penyemaian awan dari pesawat terbang :
Pesawat terbang jenis Cassa NC 212-200 sedang melepaskan bahan semai berupa serbuk garam NaCI melalui airscooper yang terpasang pada bagian bawah pesawat. bahan semai dilepaskan pada medan updraft yang ada di sekitar dasar awan (jenis aan hangat).
Selain berupa serbuk (powder), bahan semai dapat pula dikemas dalam bentuk flare yang dipasang pada bagian sayap ataupun bawah pesawat. Partikel bahan semai masuk ke dalam awan jika flare terbakar.
Bahan semai jenis ejectable flare dimasukkan ke dalam awan dengan cara ditembakkan dari pesawat pada bagian puncak awan (jenis awan dingin).
Ground Base Generator
Ground Base generator (GBG) merupakan salah satu metoda alternatif untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan, yang pada prinsipnya dengan memanfaatkan potensi topografi dan angin lembah (valley breeze), yaitu angin lokal yang berhembus ke atas pegunungan pada siang hari dengan mengikuti kemiringan permukaan gunung. Bahan semai dikemas dalam bentuk flare yang dibakar dari atas menara pada ketinggian tertentu. Kembang api yang merupakan hasil pembakaran dari flare dengan bahan higroskopik itu ditujukan untuk mengatur partikel Cloud Condensation Nuclei ( CCN) yang berukuran sangat halus ke dalam awan sehingga diharapkan mampu merangsang terjadinya hujan.
GBG aslinya digunakan di daerah lintng menengah dan tinggi dengan suhu lingkungan berada di bawah titik beku (<00C), namun saat ini sudah mulai diterapkan di Indonesia meski masih dalam taraf ujicoba. Sejumlah menara GBG telah terpasang menyebar di kawasan Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede – Pangrango) dengan tujuan untuk menyemai awan-awan orografis yang melintas di kawasan Puncak. Jika setiap awan yang melintas dapat disemai, maka hujan dapat turun lebih awal sehingga tidak terjadi penumpukan awan yang dapat menimbulkan hujan lebat di daerah tersebut sehingga diharapkan akan mampu memperkecil resiko banjir untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Penyemaian awan menggunakan sistem statis Ground Base Generator (GBG)
yang memanfaatkan awan-awan orografis pada daerah pegunungan
Wahana Roket
Roket dapat pula dimanfaatkan sebagai wahana untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Metode ini sudah banyak dikembangkan oleh negar-negara di Eropa. Saat ini BPPT bekerjasama dengan LAPAN tengah menjajaki kemungkinan teknologi ini untuk diaplikasikan di Indonesia.
Penyemaian awan menggunakan wahana roket yang ditembakkan ke dalam awan dari darat.
Evaluasi Hasil TMC
Pengukuran hasil TMC dapat ditinjau dari hasil tambahan air hujan selama periode dilakukannya kegiatan modifikasi cuaca (hujan buatan) di daerah target. Ada dua pendekatan besara dalam evaluasi hasil TMC yaitu dari segi curah hujan dan aliran.
Evaluasi penambahan curah hujan diukur melalui pendekatan atau estimasi menggunakan daerah kontrol sebagai pembanding untuk daerah target. Syarat daerah kontrol antara lain berada di luar daerah target dan tidak terkontaminasi dengan bahan semai yang dilepaskan, serta memiliki karakteristik curah hujan yang berkorelasi kuat dengan curah hujan di daerah target. Selisih antara besarnya curah hujan rata-rata di daerah target dengan besarnya curah hujan rata-rata di daerah kontrol selama periode kegiatan hujan buatan dinyatakan sebagai tambahan curah hujan hasil TMC.
Metode Evaluasi hasil TMC lainnya adalah melalui pendekatan debit aliran (inflow) di daerah target. Prinsip dari metode ini adalah membandingkan nilai denit aliran selama periode kegiatan hujan buatan dengan nilai debit saat tidak ada pelaksanaan hujan buatan. Selisih besarnya debit aliran diantara kedua periode tersebut dinyatakan sebagai penambahan aliran hasil TMC.
Kualitas Air Hujan Hasil TMC
Kegiatan TMC ini ramah lingkungan. Bahan yang digunakan untuk penyemaian awan juga dipergunakan pada kehidupan sehari-hari. Contohnya NaCI, bahan ini banyak terdapat di atmosfer sebagai hasil dinamika air laut, dan pada kehidupan sehari-hari biasa digunakan sebagai bahan masakan ataupun dalam pertanian. Dari sisi konsentrasi, satu butir bahan higroskopik berukuran 50 mikro mengalami pengenceran hingga satu juta kali ketika menjadi tetes hujan berukuran 2.000 mikron. Hasil analisis kualitas air hujan dari beberapa kali kegiatan TMC telah membuktikan bahwa parameter kualitas air hujan maupun badan-badan air masih aman untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemanfaatan TMC di Indonesia
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh berbagai pihak. Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Perusahaan Listrik negara (PLN), Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), Pihak Pengelola Waduk seperti Perum Jas Tirta I dan II, ataupun perusahaan swasta seperti PT INCO adalah beberapa contoh para pengguna jasa teknologi ini. Saat ini pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan tidak lagi hanya terbatas untuk keperluan pengisian air pada waduk/bendung yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi ataupun PLTA saja, namun juga telah banyak dimanfaatkan untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai bencan yang disebabkan oleh kondisi iklim dan cuaca lainnya, contohnya untuk mengatasi permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun di indonesia. Secara teori, teknologi ini juga mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi bencana banjir. Namun sejauh ini efektifitas TMC untuk mengantisipasi banjir belum terukur karena belum pernah dilakukan.
Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, yang sering dijadikan target kegiatan hujan buatan
secara garis besar, pedoman penentuan waktu pelaksanaan dan pemanfaatan TMC untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut.
Pedoman penentuan waktu pelaksanaan TMC untuk mengantisipasi
berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia.
tidak bisa dianggap ringan. Puluhan jiwa melayang, ribuan penduduk menjadi sengsara, dan infrastruktur
yang telah dibangun dengan biaya miliaran bahkan mungkin triliunan rupiah harus luluh lantak.
Banjir sempat surut. Bahkan, bumi Indonesia sempat kering akibat hujan yang tidak turun dalam dua minggu. Periode kering ini secara regional wilayah Indonesia hanya bertahan hingga sekitar tanggal 20 Januari 2008.
Kini curah hujan terus mengguyur sebagian wilayah Indonesia hingga puncak musim hujan untuk wilayah
Indonesia pada minggu terakhir bulan Januari hingga Februari 2008. Prakiraan ini didasarkan pada perilaku
gelombang atmosfer yang dominan memengaruhi cuaca saat ini, yaitu gelombang intramusim yang dikenal dengan Madden Julian Oscillation (MJO).
Berdasarkan pemantauan gelombang MJO kemudian sudah meninggalkan wilayah Indonesia dan berada di sebelah timur wilayah Indonesia. Dalam waktu beberapa hari ini, gugus awan ini kembali berada di sebelah barat wilayah Indonesia (Samudra Indonesia). Di Indonesia bagian barat, seperti Jakarta dan Sumatera, tumbuh awan-awan konvektif yang biasanya turun menjadi hujan pada siang hingga sore hari. Ketika gugus awan sudah berada di wilayah Indonesia, hujan akan turun sepanjang hari dan malam, seperti terjadi akhir-akhir ini. Pada saat inilah peluang terjadinya banjir di wilayah Indonesia sangat besar.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi terjadinya banjir ini? Tanpa mengecilkan arti dari
berbagai upaya yang telah dilakukan berbagai pihak, sebenarnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mempunyai kemampuan antisipasi banjir dengan sebuah teknologi untuk memodifikasi cuaca.
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) selama ini banyak berfungsi untuk menambah curah hujan. Dalam fungsinya menambah curah hujan, teknologi ini dilaksanakan dengan memasukkan bahan semai yang bersifat higroskopis dengan ukuran 1-100 mikron (µ).
Bahan semai yang berukuran kurang dari 10 µ ini berfungsi untuk meningkatkan energi awan sehingga
menambah suplai uap air yang masuk ke dalam sistem awan.
Sedangkan bahan semai yang berukuran lebih dari 10 µ berfungsi mempercepat proses-proses di dalam awan sehingga cepat turun menjadi hujan.
Dalam usaha menambah curah hujan, awan yang disemai adalah awan yang diperkirakan akan turun menjadi hujan di daerah yang memerlukan tambahan hujan.
Modifikasi teknologi TMC
Kemudian bagaimana TMC bisa mengantisipasi banjir? Dengan mempertimbangkan konsep TMC untuk menambah curah hujan, dengan sedikit saja modifikasi, teknologi ini juga bisa digunakan untuk mengantisipasi (atau bisa diartikan mencegah) terjadinya banjir (akibat curah hujan tinggi).
Modifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Bahan semai yang digunakan adalah bahan semai higroskopis dengan ukuran lebih dari 10 µ-100 µ. Agar lebih aman dari kemungkinan terjadinya peningkatan curah hujan, bisa saja digunakan bahan semai higroskopis dengan ukuran 30-100 µ. Dengan cara ini, penyemaian awan hanya bertujuan untuk mempercepat terjadinya hujan. Mekanisme ini disebut juga sebagai jumping process.
- Awan-awan yang disemai adalah awan-awan yang masih berada di atas
laut dan diperkirakan (dengan mengukur kecepatan angin dan posisi awan)
dalam tiga jam ke depan masih berada di atas laut. Dengan cara
ini, bisa dipastikan awan-awan yang disemai akan jatuh di lautan
karena awan-awan yang disemai akan turun menjadi hujan dalam waktu
kurang dari dua jam akibat mekanisme
jumping process.
organisasinya, yaitu Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan) sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun dan sekarang sudah memiliki alat-alat canggih untuk melakukan tugas-tugas seperti yang penulis sebutkan di atas.
Akan tetapi, bagaimanapun, teknologi ini tidak bisa menjamin untuk tidak akan terjadinya banjir di wilayah
Indonesia. Meski demikian, teknologi ini akan cukup signifikan dalam mengurangi curah hujan yang jatuh di wilayah daratan Indonesia, yang pada akhirnya bisa mengurangi peluang terjadinya banjir.
Hanya masalahnya, cukupkah keberanian kita untuk mengantisipasi/mencegah sesuatu (bencana sekalipun) yang belum terjadi (meskipun secara saintifik berpeluang besar untuk terjadi)?
TRI HANDOKO SETO Peneliti dan Praktisi TMC di BPPT
Sumber: http://www.opensubscriber.com/message/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/8642960.html; Rabu, 20 Februari 2008 | 01:58 WIB
Mengenal Teknologi Modifikasi Cuaca (Hujan Buatan)
Terminologi Hujan Buatan
Pernah mendengar istilah hujan buatan? Kebanyakan orang mengartikan istilah hujan buatan adalah hujan yang sengaja dibuat oleh manusia. Sebenarnya istilah hujan buatan tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai pekerjaan membuat atau menciptakan hujan, karena teknologi ini hanya berupaya untuk meningkatkan dan mempercepat jatuhnya hujan, yakni dengan cara melakukan penyemaian awan (cloud seeding) menggunakan bahan-bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air) sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan.
Istilah yang lebih tepat untuk mendefinisikan aktivitas hujan buatan adalah Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), karena pada dasarnya hujan buatan merupakan aplikasi dari suatu teknologi. TMC merupakan usaha manusia untuk meningkatkan curah hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di dalam awan. Proses fisika yang diubah (diberi perlakuan) di dalam awan dapat berupa proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) atau proses pembentukan es (ice nucleation). Saat ini TMC menjadi salah satu solusi teknis yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi bencana yang ditimbulkan oleh karena adanya penyimpangan iklim/cuaca. TMC bukanlah hal baru di dunia, karena teknologi ini sudah dipakai oleh lebih dari 60 negara untuk berbagai kepentingan.
Sejarah Modifikasi Cuaca di Dunia
Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946 ketika Vincent Schaefer dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya kristal es dalam lemari pendingin, saat schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka lemari es. Kemudian pada tahun 1947, Bernard Vonnegut mendapatkan terjadinya deposit es pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak sebagai inti es. Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara ketika sebuah pesawat tebang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu. Kedua penemuan penting ini adalah merupakan tonggak dimulainya perkembangan modifikasi cuaca di dunia untuk selanjutnya.
Sejarah Modifikasi Cuaca di Indonesia
Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah hujan buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun 1977 atas gagasan Presiden Soeharto (Presiden RI saat itu) yang difasilitasi oleh Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui Advance Teknologi sebagai embrio Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dibawah asistensi Prof. Devakul dari Royal Rainmaking Thailand.
Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPt yang bernama Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi / Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No: SK/342/KA/BPPT/XII/1985 fungsinya adalah memberikan pelayanan dalam hal meningkatkan intensitas (menambah) curah hujan sebagai upaya Pemerintah dalam menjaga ketersediaan air pada waduk yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi dan PLTA.
Proses Pembentukan Awan
Udara di sekeliling kita banyak mengandung uap air. Tidak terhitung banyaknya gelembung udara yang terbentuk oleh busa laut secara terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air terangkat ke langit. Partikel-partikel yang disebut dengan aerosol inilah yang berfungsi sebagai perangkap air dan selanjutnya akan membentuk titik-titik air. Selanjutnya aerosol ini naik ke atmosfer, dan bila sejumlah besar udara terangkat ke lapisan yang lebih tinggi, maka ia akan mengalami pendinginan dan selanjutnya mengembun. Kumpulan titik-titik air hasil dari uap air dalam udara yang mengembun inilah yang terlihat sebagai awan. Makin banyak udara yang mengembun, makin besar awan yang terbentuk.
Jenis-jenis awan berdasarkan ketinggiannya dapat dlihat pada gambar berikut.
Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan Cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dangan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan Cumulus terjadi karena proses konveksi. Secara lebih rinci awan Cumulus terbagi dalam 3 jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus yang barau tumbuh ; Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang sangat besar dan mungkin terdiri beberapa awan Cumulus yang bergabung menjadi satu.
Awan Dingin dan Awan Hangat
Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan tersebut berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat (warm cloud). Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua bagiannya berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku (< 00C), sedangkan awan hangat adalah awan yang semua bagiannya berada diatas titik beku ( > 00C).
Awan dingin kebanyakan adalah awan yang berada pada daerah lintang menengah dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa mencapai nilai <00C. Di daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu udara dekat permukaan tanah sekitar 20-300C, dasar awan mempunyai suhu sekitar 180C. Namun demikian puncak awan dapat menembus jauh ke atas melampaui titik beku, sehingga sebagian awan merupakan awan hangat, sebagian lagi diatasnya merupakan awan dingin. Awan semacam ini disebut awan campuran (mixed cloud).
Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Dingin
Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es. yang berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin (supercooled water) langsung pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan pada awan dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga disebut proses kristal es.
Hujan, salju dan hujan batu es terutama disebabkan oleh air yang menjadi dingin. Salju terbentuk dalam atmosfer atas yang suhunya dibawah titik beku. Waktu jatuh lewat atmosfer salju mencair dan menjadi hujan. Pada musim dingin, salju jatuh tanpa menjadi cair dan masih berbentuk salju. Butiran salju terdiri dari kristal es kecil-kecil.
Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air, dan terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang sumbunya berada di bawah titik beku, awan itu membeku menjadi kristal es kecil-kecil. Udara sekelilingnya yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. Dengan demikian kristal bertambah besar dan menjadi butir-butir salju. Bila menjadi terlalu berat, salju itu turun. Bila melalui udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada musim dingin salju jatuh tanpa mencair.
Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Hangat
Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh aktivitas konveksi ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 – 0,1 mikron) yang banyak beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus) yang menyebabkan uap air tersebut mengalami pengembunan.Sumber utama inti kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut. Karena bersifat higroskofik maka sejak berlangsungnya kondensasi, partikel berubah menjadi tetes cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk awan. Partikel air yang mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal, sehingga titik-titik tersebut menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan sebagai hujan.
Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 – 5 mikron) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30 mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 – 50 mikron. Dalam gerak turun ia akan lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan). Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi berangkai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut, secara fisik terlihat dasar awan menjadi lebih gelap. Hujan turun dari awan bila melalui proses tumbukan dan penggabungan, droplets dapat berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 mikron atau lebih besar. Pada keadaan tertentu partikel-partikel dengan spektrum GN tidak tersedia, sehingga proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan penggabungan tidak terjadi.
Bagaimana TMC Dapat Menambah Curah Hujan ?
Prinsip dasar penerapan TMC untuk menambah curah hujan adalah mengupayakan agar proses terjadinya hujan menjadi lebih efektif. Upaya dilakukan dengan cara mempengaruhi proses fisika yang terjadi di dalam awan, yang dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana lingkungan awan tersebut berada. Untuk bagian awan dingin, curah hujan akan bertambah jika proses pembentukan es di dalam awan juga semakin efektif. Proses pembentukan es dalam awan akan semakin efektif jika awan disemai dengan menggunakan bahan semai berupa perak iodida (Agl).
Untuk bagian awan hangat, upaya dilakukan dengan menambahkan partikel higroskopik dalam spektrum Ultra Giant Nuclei (UGN : berukuran lebih dari 5 mikron ) ke dalam awan yang sedang dalam masa berkembang atau matang sehingga proses hujan dapat segera dimulai serta berkembang ke seluruh awan. Penambahan partikel dengan spektrum CCN (Cloud Condencation Nucleus: Inti Kondensasi Awan) tidak perlu dilakukan, karena partikel dengan spektrum ini sudah disediakan sendiri oleh alam. Dengan demikian awan tidak perlu dibuat, karena dengan tersedianya CCN awan dapat terbentuk dengan sendirinya bila kelembaban udara cukup. Pada kondisi tertentu, dengan masuknya partikel higroskopik berukuran UGN kedalam awan, maka proses hujan (tumbukan dan penggabungan) dapat dimulai lebih awal, durasi hujan lebih lama, dan daerah hujan pada awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi. Dari sinilah didapatkan tambahan curah hujan. Injeksi partikel berukuran UGN ke dalam awan memberikan dua manfaat sekaligus, yang pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan penggabungan sehingga menginisiasi (mempercepat) terjadinya proses hujan, dan yang kedua adalah mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam awan. Bahan semai yang digunakan adalah bahan yang memiliki sifat higroskopik dalam bentuk super fine powder (berbentuk serbuk yang berukuran sangat halus), paling sering digunakan adalah NaCl, atau bisa juga berupa CaCl2 atau Urea.
Berikut adalah animasi yang menggambarkan perbedaan antara sekuens pertumbuhan awan yang tidak disemai dengan awan yang disemai :
Sekuens awan tidak disemai
5 menit :
Kumulus mulai tumbuh.
10 menit :
Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar
15 Menit :
Tetes besar semakin banyak dan mulai terjadi kristal es. Awan mencapai tinggi maksimum
20 menit :
Kristal-kristal semakin besar, tetes air di dalam awan berkurang. Kristal es jatuh dan mencair menjadi tetes air hujan.
30 menit :
Hujan ringan berlangsung dan awan membuyar.
Sekuens awan yang disemai
5 menit :
Kumulus mulai tumbuh.
10 menit :
Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar
15 menit :
Sejumlah bahan semai yang terkonsentrasi dimasukan ke dalam awan dari dasar awan maupun dari puncak awan.
20 menit :
Terjadi pelepasan panas laten ketika air supercooled membeku menjadi es dan awan tumbuh menjadi sangat besar.
30 menit :
Jumlah air yang terlibat di dalam awan semakin besar sehingga curah hujan meningkat.
METODA PENYEMAIAN AWAN
Dalam penerapan TMC, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Yang paling sering dan biasa dilakukan adalah menggunakan wahana pesawat terbang. Selain menggunakan pesawat terbang, modifikasi pesawat terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan sistem statis melalui wahana Ground Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan untuk memodifikasi awan-awan orografik dan juga menggunakan wahana roket yang diluncurkan ke dalam awan.
Gambar 10. Macam-macam metoda penyampaian bahan semai ke dalam awan
Di Indonesia untuk saat ini yang sudah operasional dan dikuasai teknologinya berubah TMC dengan menggunakan wahana pesawat terbang TMC sistem GBG saat ini masih dalam tarap ujicoba dan telah terpasang sejumlah menara di daerah Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede – Pangrango), sedangkan untuk wahana roket baru sebatas kajian dan dalam wacana akan mulai dicoba di Indonesia.
Wahana Pesawat Terbang
Berikut adalah beberapa contoh gambar penyemaian awan dari pesawat terbang :
Pesawat terbang jenis Cassa NC 212-200 sedang melepaskan bahan semai berupa serbuk garam NaCI melalui airscooper yang terpasang pada bagian bawah pesawat. bahan semai dilepaskan pada medan updraft yang ada di sekitar dasar awan (jenis aan hangat).
Selain berupa serbuk (powder), bahan semai dapat pula dikemas dalam bentuk flare yang dipasang pada bagian sayap ataupun bawah pesawat. Partikel bahan semai masuk ke dalam awan jika flare terbakar.
Bahan semai jenis ejectable flare dimasukkan ke dalam awan dengan cara ditembakkan dari pesawat pada bagian puncak awan (jenis awan dingin).
Ground Base Generator
Ground Base generator (GBG) merupakan salah satu metoda alternatif untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan, yang pada prinsipnya dengan memanfaatkan potensi topografi dan angin lembah (valley breeze), yaitu angin lokal yang berhembus ke atas pegunungan pada siang hari dengan mengikuti kemiringan permukaan gunung. Bahan semai dikemas dalam bentuk flare yang dibakar dari atas menara pada ketinggian tertentu. Kembang api yang merupakan hasil pembakaran dari flare dengan bahan higroskopik itu ditujukan untuk mengatur partikel Cloud Condensation Nuclei ( CCN) yang berukuran sangat halus ke dalam awan sehingga diharapkan mampu merangsang terjadinya hujan.
GBG aslinya digunakan di daerah lintng menengah dan tinggi dengan suhu lingkungan berada di bawah titik beku (<00C), namun saat ini sudah mulai diterapkan di Indonesia meski masih dalam taraf ujicoba. Sejumlah menara GBG telah terpasang menyebar di kawasan Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede – Pangrango) dengan tujuan untuk menyemai awan-awan orografis yang melintas di kawasan Puncak. Jika setiap awan yang melintas dapat disemai, maka hujan dapat turun lebih awal sehingga tidak terjadi penumpukan awan yang dapat menimbulkan hujan lebat di daerah tersebut sehingga diharapkan akan mampu memperkecil resiko banjir untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Penyemaian awan menggunakan sistem statis Ground Base Generator (GBG)
yang memanfaatkan awan-awan orografis pada daerah pegunungan
Wahana Roket
Roket dapat pula dimanfaatkan sebagai wahana untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Metode ini sudah banyak dikembangkan oleh negar-negara di Eropa. Saat ini BPPT bekerjasama dengan LAPAN tengah menjajaki kemungkinan teknologi ini untuk diaplikasikan di Indonesia.
Penyemaian awan menggunakan wahana roket yang ditembakkan ke dalam awan dari darat.
Evaluasi Hasil TMC
Pengukuran hasil TMC dapat ditinjau dari hasil tambahan air hujan selama periode dilakukannya kegiatan modifikasi cuaca (hujan buatan) di daerah target. Ada dua pendekatan besara dalam evaluasi hasil TMC yaitu dari segi curah hujan dan aliran.
Evaluasi penambahan curah hujan diukur melalui pendekatan atau estimasi menggunakan daerah kontrol sebagai pembanding untuk daerah target. Syarat daerah kontrol antara lain berada di luar daerah target dan tidak terkontaminasi dengan bahan semai yang dilepaskan, serta memiliki karakteristik curah hujan yang berkorelasi kuat dengan curah hujan di daerah target. Selisih antara besarnya curah hujan rata-rata di daerah target dengan besarnya curah hujan rata-rata di daerah kontrol selama periode kegiatan hujan buatan dinyatakan sebagai tambahan curah hujan hasil TMC.
Metode Evaluasi hasil TMC lainnya adalah melalui pendekatan debit aliran (inflow) di daerah target. Prinsip dari metode ini adalah membandingkan nilai denit aliran selama periode kegiatan hujan buatan dengan nilai debit saat tidak ada pelaksanaan hujan buatan. Selisih besarnya debit aliran diantara kedua periode tersebut dinyatakan sebagai penambahan aliran hasil TMC.
Kualitas Air Hujan Hasil TMC
Kegiatan TMC ini ramah lingkungan. Bahan yang digunakan untuk penyemaian awan juga dipergunakan pada kehidupan sehari-hari. Contohnya NaCI, bahan ini banyak terdapat di atmosfer sebagai hasil dinamika air laut, dan pada kehidupan sehari-hari biasa digunakan sebagai bahan masakan ataupun dalam pertanian. Dari sisi konsentrasi, satu butir bahan higroskopik berukuran 50 mikro mengalami pengenceran hingga satu juta kali ketika menjadi tetes hujan berukuran 2.000 mikron. Hasil analisis kualitas air hujan dari beberapa kali kegiatan TMC telah membuktikan bahwa parameter kualitas air hujan maupun badan-badan air masih aman untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemanfaatan TMC di Indonesia
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh berbagai pihak. Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Perusahaan Listrik negara (PLN), Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), Pihak Pengelola Waduk seperti Perum Jas Tirta I dan II, ataupun perusahaan swasta seperti PT INCO adalah beberapa contoh para pengguna jasa teknologi ini. Saat ini pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan tidak lagi hanya terbatas untuk keperluan pengisian air pada waduk/bendung yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi ataupun PLTA saja, namun juga telah banyak dimanfaatkan untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai bencan yang disebabkan oleh kondisi iklim dan cuaca lainnya, contohnya untuk mengatasi permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun di indonesia. Secara teori, teknologi ini juga mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi bencana banjir. Namun sejauh ini efektifitas TMC untuk mengantisipasi banjir belum terukur karena belum pernah dilakukan.
Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, yang sering dijadikan target kegiatan hujan buatan
secara garis besar, pedoman penentuan waktu pelaksanaan dan pemanfaatan TMC untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut.
Pedoman penentuan waktu pelaksanaan TMC untuk mengantisipasi
berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar